Yadi Timo

Yadi Timo adalah seorang aktor senior Indonesia. Ia memainkan beberapa sinetron di Indonesia, seperti Cowok Impian, Benci Bilang Cinta dan Soleha. Namanya tidak sepopuler wajahnya yang muncul hampir di semua sinetron produksi Sinemart. Bermula dari pemain sinetron, ia laris manis main di berbagai sinetron. Peran sebagai ayah begitu kental pada pria bernama asli Yadi Mulyadi ini.





Wajah Anda hampir selalu ada di setiap sinetron yang tayang saat ini.

Iya, hari-hari saya sekarang ini memang didominasi jadwal syuting. Saya terlibat di sinetron-sinetron produksi SinemaArt. Ada sekitar delapan judul, yaitu Wulan, Benci Bilang Cinta, Putri Yang Terbuang, Buku Harian Nayla, Penyihir Cinta, Baby Doll, Cowok Impian, dan Janji. Hampir di seluruh sinetron itu saya berlakon sebagai bapak, padahal saya masih single. Tapi saya tetap bangga.

Tidak khawatir terjebak dalam stereotipe peran bapak-bapak?

Memang sekarang saya lebih dikenal sebagai bapaknya si anu si itu, tergantung berperan di sinetron mana. Bahkan kalau sedang jalan-jalan, anak-anak atau ibu-ibu rajin menyapa saya 'Bapaknya Nayla' atau 'Bapaknya Marshanda'. Pastinya saya harus ekstra hati-hati dan tidak mau terjebak dalam stereotipe seperti itu. Tapi, syukurlah saya bekerja sama dengan para sutradara yang sangat bagus, jadi tidak masalah.

Selain itu karakter-karakter "bapak" di setiap sinetron yang saya lakoni juga berbeda. Bukan berbeda dalam arti saya sendiri yang ingin membeda-bedakannya dengan mengubah penampilan fisik, gaya tutur, atau apa pun. Perbedaan itu memang keluar dengan sendirinya.

Selama bermain sinetron, peran apa yang paling berkesan bagi Anda?

Saya paling suka Buku Harian Nayla dimana saya bermain bersama Moudy Wihelmina dan Chelsea Olivia Wijaya. Materi dan alurnya sangat bagus. Pertama kali membaca naskahnya saja sudah membuat saya merinding. Bekerja sama dengan sang sutradara, Maruli Ara, juga tak diragukan lagi.

Selain itu, di sinetron itu untuk pertama kalinya saya diberi kesempatan memerankan tokoh bapak yang sangat serius dan melankolis. Padahal, sebelumnya saya lebih banyak diekspos dalam peran kekonyolan. Di sinetron ini, saya juga digambarkan beragama Kristiani, sedangkan saya seorang muslim. Tahun 1988 saya kuliah D3 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Awalnya saya berminat mengambil seni rupa. Namun, karena kemampuan ekonomi orang tua pas-pasan, saya memilih jurusan teater. Ternyata saya sangat tertarik pada dunia itu.

Saya kemudian bergabung dengan Teater Aristokrat mengikuti Festival Teater Remaja. Kami mementaskan naskah komedi milik Danarto, Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-Ewek.
Sebetulnya waktu itu saya hanya menggantikan posisi Fanny Fadillah (pemeran Ucup dalam Bajaj Bajuri, Red). Ternyata saya yang masih anak bawang malah menyabet gelar aktor terbaik. Wah, saya semakin jatuh cinta dengan dunia seni peran.

Saya mulai tidur di kampus. Untuk menutupi biaya hidup, saya sering ambil bagian di berbagai pertunjukan (alm) Sena A Utoyo, maestro pantomim yang mendirikan Sena Didi Mime bersama Didi Petet. Lalu, saya mencoba menjadi sutradara teater. Lewat lakon Monserat karya Emmanuel Robert, saya sempat menjadi sutradara terbaik. Baru beberapa pementasan, saya mundur sebagai sutradara karena terlalu berat. Saya lebih suka menjadi koordinator panggung atau pemain.

Bagaimana bisa banting stir ke dunia sinetron?

Di awal 90-an produksi sinetron mulai ramai. Tahun 1994 saya lulus kuliah. Beberapa senior seperti Didi Petet dan Eeng Saptohadi pun mulai mengajak main sinetron. Saya mendapat peran-peran kecil. Saya dihadapkan pada kondisi real.

Lalu saya bergabung dalam production house (PH) milik Deddy Mizwar. Pertama kali saya main di sinetron Mat Angin yang dalam Festival Piala Vidia membuahkan peran pembantu terbaik. Lalu, saya menjadi nominator pemeran utama terbaik di sinetron Bukan Superman. Hubungan saya dan Deddy sangat baik. Saya merasa satu visi. Untuk memperkaya kemampuan seni peran, saya sering berdiskusi dengan Deddy. Karena butuh penyegaran, tahun 1998 saya keluar dari PH-nya.

Selanjutnya, saya masuk ke Prima Entertainment. Nah, waktu itu sedang zamannya FTV. Itu cukup menarik bagi saya, karena syutingnya di daerah Singkawang dan harus berdialog dalam bahasa setempat.

0 komentar:

Posting Komentar



Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.